Monday, April 13, 2009

Kesabaran dalam Demokrasi


Minggu lalu, tepatnya tanggal 9 April 2009, negara kita telah melaksanakan agenda demokrasi yaitu pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif. Walaupun disana-sini dilaporkan banyak ditemukan ketidakberesan dalam pelaksanaan, mulai dari kekacauan DPT, tertukarnya surat suara antar daerah, money politic dan lain-lain, tetapi kita berharap tidak akan mempengaruhi hasil pemilu secara umum dan agenda berikutnya bisa dilakukan dengan lebih baik yaitu pemilihan presiden sampai terpilihnya pemerintahan yang legitimate.
Di bagian dunia yang lain yang tidak terlalu jauh secara geografis dari negara kita, yaitu Thailand, hari-hari ini negara tersebut disibukkan dengan demonstrasi yang berusaha untuk menjatuhkan pemerintah yang berkuasa yaitu Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Bahkan demonstrasi ini sempat menggagalkan penyelenggaraan KTT Asean+3 yang dijadwalkan berlangsung di Pattaya akhir minggu yang lalu. Kejadian ini disamping membuat malu pemerintah Thailand juga sangat tidak mendukung citra negara tersebut yang selama ini termasuk salah satu negara tujuan investasi dan wisata utama di Asia. Dampak yang akan terasa diperkirakan mempengaruhi persepsi sedikitnya 8.5 juta atau 60% wisatawan asing dan terancam kehilangan devisa sekitar 65 Triliun Rupiah. Apalagi kalau krisis politik ini tidak kunjung berakhir pasti akan berdampak lebih besar lagi.
Krisis di Thailand sebenarnya sudah berlangsung selama 15 bulan terakhir dan sudah ada 4 pergantian perdana menteri setelah PM Thaksin Sinawatra dijatuhkan dan sepertinya belum tentu akan selesai dalam waktu dekat ini.
Pemerintahan di Thailand memang dalam sejarahnya selama ini tidak lepas dari aksi kudeta yang banyak dilakukan oleh militer. Baru pada pertengahan 90-an kestabilan politik mulai terasa dengan lepasnya militer dari pemerintahan. PM Thaksin Sinawatra adalah perdana menteri sipil hasil pemilu yang cukup lama membawa kestabilan politik di Thailand yang banyak mendapat dukungan dari rakyat miskin yang tersebar terutama di pedesaan karena banyak kebijakannya sangat pro terhadap rakyat pedesaan. Tetapi ironisnya, tidak disukai oleh kelompok menengah keatas yang banyak bermukim di kota besar seperti Bangkok. Alasannya karena saat memerintah Thaksin dan keluarga dinilai banyak melakukan korupsi dan tidak nasionalis. Puncaknya saat Thaksin menjual saham perusahaan telekomunikasi terbesar di negara itu ke perusahaan holding milik pemerintah Singapura, Temasek, rakyat terutama di kota-kota besar tersebut sudah tidak dapat memaafkan Thaksin lagi dan terjadilah kudeta yang didukung militer untuk mengahiri pemerintahan Thaksin sebelum selesai masa berakhirnya.
Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari krisis politik di Thailand ini adalah bahwa dalam menegakkan demokrasi perlu kesabaran dan kemampuan untuk menerima apapun hasil demokrasi sepanjang proses demokrasi telah dilakukan dengan jalan dan instrumen yang benar. Memang diperlukan jiwa besar bagi rakyat dan terutama elit politik untuk bisa menghormati hasil dari demokrasi dan mengawal jalannya demokrasi untuk tetap dalam jalurnya. Karena itu dalam proses pemilu kali ini kita harapkan bisa dilakukan dengan baik dan kalaupun ada kekurangan agar dihindari tindakan yang bermuara pada situasi krisis yang mau tidak mau memberi legitimasi bagi militer untuk mengambil alih keadaan, karena sekali militer terlibat maka akan tidak bisa dijamin tidak timbulnya tradisi kudeta seperti yang kita lihat di Thailand sekarang ini. Mungkin yang bisa kita lakukan hari-hari ini adalah menghimbau elit politik untuk tidak melakukan tindakan yang kontra produktif dengan mengatasnamakan rakyat tetapi sebenarnya adalah untuk memenuhi nafsu berkuasa yang pada akhirnya menghambat atau bahkan bisa menutup jalannya demokrasi itu sendiri.

No comments:

Post a Comment